Menu
Silahkan baca dan Share artikel disini bila bermanfaat tapi jangan lupa menyebut sumbernya,.. Thank You

SAUDAH BINTU ZAM’AH : Pengisi Kesunyian Hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Dalam kesendirian dan kehampaan hati terenggut kekasih tercinta dia hadir membawa nuansa bagi manusia yg paling mulia dgn keceriaan jiwa yg dimilikinya. Kebesaran jiwa membuat diri senantiasa di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dialah Saudah bintu Zam’ah.

Tersebut satu nama mulia yg tdk kan lepas dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisi kekosongan jiwa beliau setelah wafat Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha. Dia Ummul Mukminin Saudah bintu Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin ‘Amir bin Lu’ai bin Ghalib Al Qurasyiyyah Al ‘Amiriyyah yg memiliki kunyah Ummul Aswad. Ibu adl Asy Syamus bintu Qais bin Zaid bin ‘Amr bin Labid bin Khaddasy bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najjar.

Bersama suami As Sakran bin ‘Amr Al ‘Amiry Saudah bintu Zam’ah menyongsong cahaya keimanan yg dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun dgn itu ia harus menanggung derita dan siksaan dari orang2 musyrikin yg hendak mengembalikan mereka ke dlm kesesatan dan kesyirikan. Saat siksaan dan himpitan itu bertambah berat berhijrahlah Saudah dan suami dlm barisan delapan orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka meninggalkan negeri mengarungi dahsyat gelombang lautan rela menempuh penderitaan utk menyelamatkan agama mereka hingga sampailah mereka di bumi Habasyah. Namun tdk berapa lama muhajirin Habasyah ini balik kembali ke negeri mereka.

Sekembali mereka dari Habasyah ke Mekkah As Sakran bin ‘Amr meninggal dunia. Baru saja berakhir ujian yg dirasa krn keterasingan mereka di bumi yg jauh dari tanah kelahiran Saudah bintu Zam’ah harus kehilangan suami tercinta. Kini dia menjanda.

Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah merasakan kesedihan dgn hilang wanita yg dicintai yg beriman kepada beliau saat manusia mengingkari yg menopang dgn harta saat manusia enggan memberi dan yg dari beliau mendapatkan buah hati. Kesedihan yg teramat dlm hingga tdk seorang pun dari kalangan sahabat beliau yg berani menyinggung masalah pernikahan di hadapan beliau. Namun seorang shahabiyah Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah mengetuk pintu hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dgn pertanyaan “Tidakkah engkau ingin menikah lagi wahai Rasulullah?”

Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan Rasulullah balik berta “Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?” Khaulah pun menjawab “Kalau engkau menghendaki ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki ada pula yg janda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berta lagi “Siapa yg gadis?” Jawab Khaulah “Putri orang yg paling engkau cintai ‘Aisyah putri Abu Bakr.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam sesaat kemudian berta lagi “Siapa yg janda?” Khaulah menjawab “Saudah bintu Zam’ah seorang wanita yg beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.”

Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hati beliau tersentuh dgn penderitaan wanita muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisi dan meringankan kekerasan hidup yg dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu Saudah memasuki usia senja tentu lbh layak mendapatkan perlindungan.

Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikah dengannya. Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikah dgn ‘Aisyah bintu Abi Bakr Ash Shiddiq. Saudah meminta kepada Hathib bin ‘Amr Al ‘Amiry salah seorang sahabat dari kaum yg pernah turut dlm perang Badr dan juga ikut berhijrah ke Habasyah utk menikahkannya.

Seorang diri Saudah mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama tiga tahun lbh hingga tiba saat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyusul hadir dlm rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah Saudah bintu Zam’ah bersama keluarga Rasulullah yg lain masih tinggal di Mekkah. Setelah usai pembangunan masjid dan tempat tinggal beliau di Madinah barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhuma utk menjemput Saudah dan putri-putri beliau. Berangkatlah mereka berdua berbekal lima ratus dirham dan dua ekor unta. Dengan lima ratus dirham itu mereka membeli tiga ekor unta. Kemudian mereka berdua masuk ke kota Mekkah utk membawa Saudah bintu Zam’ah beserta putri-putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Fathimah dan Ummu Kultsum. Pada saat itu juga Zaid menjemput istri Ummu Aiman dan putra Usamah bin Zaid ke bumi hijrah Madinah.

Hari terus bergulir usia pun bertambah. Saudah mengerti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi semata-mata krn rasa iba beliau dgn keadaan setelah suami tiada. Semakin jelaslah semua itu ketika beliau bermaksud menceraikan dgn cara yg sebaik-baik agar tdk melukai hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan keinginan ini kepadanya. mk di hadapan beliau dgn dada yg sesak Saudah bintu Zam’ah berbisik lirih “Tahanlah aku wahai Rasulullah. Demi Allah aku tdk lagi memiliki keinginan terhadap pernikahan. Namun aku sangat berharap kelak di hari kiamat Allah akan membangkitkan diriku sebagai istrimu.”

Wanita mulia yg mengharapkan kemuliaan. Dia utamakan keridhaan suami yg mulia hingga dia berikan pula hari giliran utk ‘Aisyah istri yg sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau pun menerimanya.

Peristiwa ini menyisakan sesuatu yg teramat berarti. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat 128 dari Surat An Nisaa’:
“Maka tdk mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dgn sebenar-benar dan perdamaian itu lbh baik”.

Tinggallah Saudah di dlm rumah yg dipenuhi cahaya kenabian dgn keadaan tenang ridha dan penuh rasa syukur kepada Rabb yg telah membimbing sehingga di dunia ini dia tetap berada di samping hamba Allah yg paling mulia sebagai ibu bagi kaum mukminin dan sebagai istri beliau kelak di dlm surga.

Tetaplah kemuliaan itu dia dapatkan sampai tiba saat dia menghadap Rabb ‘azza wa jalla pada akhir masa pemerintahan Umar ibnul Khatthab radhiallahu ‘anhu di Madinah An Nabawiyyah.

Jejak masih terasa sejarah masih terbaca. Saudah bintu Zam’ah semoga Allah meridlainya

Sumber bacaan :
1. Ats Tsiqaat Ibnu Hibban
2. Al Isti`aab Ibnu Abdil Bar
3. Al Ishaabah fi Tamyizis Shahabah Ibnu Hajar Al Atsqalani
4. Siyar A`lamun Nubala Adz Dzahabi
5. Tahdzibul Kamaal Al Mizzi
6. Syarah Shahih Muslim An Nawawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Newsletter

Get All The Latest Updates Delivered Straight Into Your Inbox For Free!

Followers

Khansa Muslim on FB