Menu
Recent Post
Silahkan baca dan Share artikel disini bila bermanfaat tapi jangan lupa menyebut sumbernya,.. Thank You


Sajada wajhi lilladzi kholaqohu wa showwarohu, wa syaqqo sam'ahu wa bashorohu bi haulihi wa quwwatih

Ya Alloh ... 
ku senantiasa sujud tunduk kepadaMu
mengiringi syukur nikmatMu ...
meski ku sadar ..., tak mampu ku membayar

Ya Alloh ... 
AnugerahMu begitu besar untukku
hingga tak bisa diriku tuk berpaling dariMu
menafikan apa yang ada pada diriku



Ya Alloh ...
janjiMu begitu nyata
hingga mata tak dapat berdusta
hingga hati tak dapat mengingkari
hingga kaki tak dapat berlari

kuteteskan air mataku...
tak sekedar ku terharu
tak sekedar mewakili bahagiaku
namun lebih dari itu ....
aku benar-benar mengakui KeMaha BesaranMu

Ku yakin dengan pintu RahmatMu
Ku yakin dengan Ma'unahMu
ku yakin dengan MaghfirohMu
ku yakin dengan BerkahMu
dalam setiap pengorbanan dan amalku ...

Ya Alloh 
jadikanlah hamba yang lemah ini...
bagian dari umatMu yang Kholis
bagian dari umatMu yang Sholih
bagian dari UmatMu yang berilmu
dan ... bagian dari UmatMu yang beramal

Sajada wajhi lill
0



Asy-Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini (Murid Al-Imam Al-Albani, tinggal di Mesir) pernah ditanya :

Apakah boleh hukumnya memegang mushaf atau meletakannya di alat penyangga sambil membacanya ketika sholat lail?

Beliau menjawab :
Ya, boleh hukumnya membaca mushaf ketika melaksanakan sholat lail. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwasanya Dzakwan maula ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengimami beliau dengan membaca mushaf.
( 160 Fatwa min Fatawa Asy-Syaikh Abi Ishaq Al-Huwainy,http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=15&book=1672 )

Asy-Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman (Murid Al-Imam Al-Albani, tinggal di Yordania) pernah ditanya :

Apakah boleh hukumnya membaca mushaf ketika sholat?

Beliau menjawab :
Perbuatan ini minimalnya dihukumi makruh karena menyelisihi petunjuk/perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian juga para shahabatnya.

Tentu ada perbedaan antara orang yang membaca dari dadanya (hafalannya) yang dapat memberikan pengaruh yang baik berupa metode, cara dan contoh terhadap mereka yang menghafal qur’an, dibandingkan dengan yang membacanya melalui mushaf, yang seperti ini tentu tidak bisa ditiru atau dicontoh. Padahal manusia saat ini sangat membutuhkan metode, contoh dan akhlak para ulama seperti butuhnya meraka terhadap ilmu para ulama.

Ditambah lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yang berhak mengimami suatu kaum adalah yang paling baik bacaannya (dan paling banyak hafalannya).” Sehingga sholat dengan membaca mushaf tentunya akan menjadikan hadits ini tanpa makna. Setiap manusia bisa membaca qira’at melalui mushaf, namun demikian para ulama telah sepakat/ijma’ bahwa wajib hukumnya menghafal Al-Fatihah. Qira’at yang dibaca melalui mushaf tentu akan menjadikan ijma’ ulama ini juga tidak ada artinya sama sekali.

Ada banyak hal yang menjadi peringatan berkenaan dengan qira’at melalui mushaf ini, diantaranya :

Orang akan merasa puas/bangga dengan apa yang tidak dimilikinya, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang merasa puas/bangga dengan apa yang tidak dimilikinya ibarat orang yang mengenakan pakaian kedustaan.”

Manusia yang bermakmum di belakang Imam yang seperti ini tentu akan beranggapan, “Sungguh hebat imam ini, hafalannya banyak, mutqin (kuat hafalnnya dan tidak ada salahnya) serta benar bacaannya,” sehingga dia akan merasa puas/bangga dengan apa yang tidak dimilikinya.

Dan juga dalam perbuatan seperti ini tentu dia akan disibukkan dengan banyak gerakan diluar gerakan sholat yaitu membuka-buka halaman mushaf atau semislanya. Padahal asal dalam solat itu adalah tenang dan tidak banyak bergerak sebagaimana tertera dalam hadits Ubadah di dalam Shahih Muslim; “Tenanglah dalam sholat kalian.”

Hal ini juga bertentangan dengan petunjuk shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu bahwa orang yang sholat diperintahkan untuk mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Sehingga dengan demikian pada asalnya setiap orang diperintahkan untuk membaca qira’at dari hafalannya.

Hal lain yang menjadi catatan dan peringatan juga adalah bahwa para imam dan kaum muslimin akan menjadi kurang bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk menghafalkan Al-Qur’an. Juga tangan kanan dan kiri akan bergantian posisi (karena memegang mushaf).

Akan tetapi jika memang kondisinya mendesak (idhtirar) seperti misalnya seorang wanita yang tinggal di rumahnya dan dia tidak hafal al-qur’an namun kemudian ingin melaksanakan sholat gerhana (kusuf dan khusuf) dan ingin memperpanjang sholatnya, maka dia boleh membaca qira’atnya melalui mushaf. Telah tsabit dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau memiliki maula yang mengimami beliau qiyam ramadhan dengan membaca mushaf. Dalam kondisi ini maka boleh hukumnya karena dharurah, wallahu a’lam.
( Ruknul Fatawa, http://www.mashhoor.net/ )

0


Salam, kami ingin berikan hadist hadist mengenai “Datang Bulan” untuk perempuan. Alhamdulillah ini adalah kumpulan Hadist Riwayat Bukhari. Tentunya lebih baik yang membaca adalah kaum perempuan juga.
Kita mulai dari Firman Allah ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah: 222)
0



Ada seorang istri yang sangat ingin i’tikaf di sepuluh malam hari Ramadhan, akan tetapi suaminya menyuruh agar ia di rumah saja mengurus anak-anak dan memasak makanan untuk keluarga. Tentunya seorang yang ingin beribadah kepada Allah akan sedikit kecewa karea tidak bisa beribadah.
Akan tetapi perlu diketahui bagi setiap istri, bahwa istri juga akan mendapat pahala i’tikaf yang sama dengan suami jika istri mendukung penuh suami dalam beribadah. Istri mempersiapkan keperluan suami, istri mendukung penuh serta memberikan dukungan moril kepada suami.
0

Banyak yang bingung dan bertanya-tanya tentang cara mengecilkan perut yang cepat. Banyak obat pengecil perut yang diminum dan juga olahraga tapi hasil belum ada? coba tips berikut:

1. Cobalah melakukan olahraga pengecilan perut seperti shit Up minimal sekali 2 hari. Pada awalnya akan terasa berat karena banyaknya lemak di perut tapi jika telah terbiasa akan mudah selanjutnya.

2. Hindari tidur setelah makan. Setelah makan, makanan akan diproses didalam perut. Tidur akan menghentikan proses pencernaan makanan sehingga makanan yang belum tercerna dengan baik akan menjadi lemak.

3. Banyak makan buah-buahan yang dapat melancarkan pencernaan seperti Pisang dan pepaya. karena salah satu hal yang membuat ukuran perut membesar adalah karena pencernaan yang kurang baik.

4. Kurangi mengkonsumsi makanan berat di malam hari.

5. Hindari mengkonsumsi terlalu banyak makanan berlemak. 

Cobalah tips di atas Insya Allah hasilnya akan terlihat dalam beberapa minggu saja

0



Salah satu adab safar yang sering dilupakan oleh para saudara kita, ucapan doa yang disyariatkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan diajarkan kepada para sahabat. Doa yang amat dibutuhkan oleh seorang dalam safar dan kehidupannya, baik di dunia, maupun di akhirat.

Seorang ulama tabi’in, Qoza’ah bin Yahya Al-Bashriy -rahimahullah- menuturkan,

قَالَ لِى ابْنُ عُمَرَ هَلُمَّ أُوَدِّعْكَ كَمَا وَدَّعَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

Ibnu Umar pernah berkata kepadaku, “Kemarilah!! Aku akan mengucapkan selamat kepadamu sebagaimana halnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengucapkan selamat kepadaku,

أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

“Aku titipkan kepada Allah agama, amanah dan penutup-penutup amalmu “. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (no. 2600), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok ala Ash-Shohihain (2/97/no. 2476), Ahmad dalam Al-Musnad (2/25/no. 4781) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (49/314-316)]

Hadits yang agung ini mengajarkan kepada kita doa yang amat bermanfaat dalam safar kita, doa perlindungan bagi seorang yang bersafar.

Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, “Sabdanya, “Aku titipkan kepada Allah…”, ia merupakan permintaan penjagaan titipan. Di dalamnya terdapat semacam penitipan. Seseorang menjadikan agama dan amanahnya sebagai barang titipan. Karena, safar itu di dalamnya manusia akan tertimpa sesuatu berupa perkara yang memberatkan dan rasa takut, sehingga hal itu menjadi sebab bagi penelantaran sebagian urusan agama. Itulah sebabnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakan pertolongan dan taufiq bagi orang yang safar”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (9/284)]

Inilah doa penting yang sepantasnya kita pelihara dan lazimi. Setiap ada yang safar, maka kita ucapkan doa ini baginya. Semoga dengan doa ini, ia selalu dalam penjagaan Allah -Azza wa Jalla-.

[source: http://pesantren-alihsan.org/doa-penting-bagi-para-musafirin.html]
2



Suatu ketika di suatu negeri, hiduplah seoarang wanita bernama Al-Malikah. Dia adalah wanita tunasusila keturunan Bani Israil. Al-Malikah dikenal di negerinya sebagai pelacur kelas atas. Bayaran yang ia peroleh juga cukup tinggi.


Kecantikannya sangat terkenal sehingga banyak pemuda yang menyukainya. Tidak terkecuali seorang pemuda bernama Abid. Abid sebenarnya pemuda miskin yang taat ibadah. Namun kepopuleran paras cantik Al-Malikah di seantero negeri rupanya telah menggoda keimanan sang pemuda untuk mencoba menikmati kecantikan Al-Malikah. 

Sayangnya untuk bisa bertemu Al-Malikah, Abid harus mengeluarkan biaya sebesar 100 dinar. Karena besarnya uang bayaran itu, Abid harus bekerja sekuat tenaga untuk mengumpulkan uang. Dia ingin bertemu dengan 'pujaan' hatinya. Setelah uang terkumpul, datanglah Abid menemui Al-Malikah.

Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ketika Abid telah berada di hadapan Al-Malikah, tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Keringat bercucuran keluar dari sekujur tubuhnya. Yang terjadi, sang pemuda justru ingin lari dari tempat itu. Al-Malikah malah menjadi heran dengan tingkah Abid yang mendadak berubah. 

Ketika Al-Malikah sudah berada di depannya, Abid justru teringat akan Rab-nya. "Aku takut kepada Allah, bagaimana aku mempertanggungjawabkan perbuatan maksiatku nanti," kata Abid.

Ucapan Abid yang spontan malah membuat Al-Malikah terkejut. Entah bagaimana, ucapan Abid seakan menjadi wasilah yang memberi kesadaran kepada Al-Malikah. Di luar dugaan, hati Al-Malikah tersentuh oleh ucapan Abid yang polos itu. 

Abid pun lantas pergi menjauh meninggalkan Al-Malikah. Kakinya langsung berjalan seribu langkah. Namun tanpa diduga, belum jauh Abid meninggalkan tempat itu, Al-Malikah mengejar dan menghentikan langkah Abid. Al-Malikah mencegah Abid. Tapi bukan untuk memaksa Abid untuk berzina. Yang dilakukan Al-Malikah justru meminta Abid menikahinya. Perempuan itu tiba-tiba menangis di depan Abid, sambil memohon-mohon. Tentu saja kini giliran tingkah Al-Malikah yang membuat heran Abid.

Bahkan dengan nada mengancam, Al-Malikah tidak akan melepaskan langkah Abid sebelum pemuda itu benar-benar berjanji menikahinya. Namun usaha Al-Malikah sia-sia. Abid berhasil menjauh hingga menghilang dari pandangan Al-Malikah. 

Keteguhan iman sang pemuda rupanya telah menawan hati Al-Malikah. Kata-kata keimanan yang keluar dari mulut Abid benar-benar telah membuka hati, mata dan pikiran sang wanita. Usai pertemuan yang awalnya untuk bertransaksi maksiat kepada Allah itu, Al-Malikah bertekad untuk memperbaiki diri dan segera keluar 'lembah hitam' pekerjaannya. Tujuannya tak lain, menyempurnakan benih iman yang mulai tumbuh karena disiram ucapan sang pemuda. Dia pun mencari sang pemuda hingga ke pelosok.

Bertahun-tahun Al-Malikah berjalan keluar masuk kampung hanya untuk mencari sosok pemuda teguh iman yang pernah ditemuinya itu. Namun usaha yang dilakukan Al-Malikah kandas. Abid mengetahui jika sang wanita pelacur mencari-cari dirinya. Karena ketakutannya kepada Allah, maka Abid selalu menghindar dan bersembunyi. Karena ketakutannya yang luar biasa kepada Tuhannya itu, hingga membuat Abid pingsan lalu meninggal. 

Kabar meninggalnya Abid ini rupanya sampai juga ke telinga Al-Malikah. Tentu saja kabar itu membuat Al-Malikah syok dan bersedih. Usahanya untuk dapat bersuamikan lelaki saleh harus kandas, sementara benih iman di hatinya baru saja tumbuh. 

Al-Malikah lalu bergegas ke rumah tempat disemayamkannya Abid untuk bertakziyah. Tekadnya sudah bulat, memperbaiki diri dan keimanannya. Karena tekadnya itu, Al-Malikah lalu berniat menikahi saudara Abid. Dalam pandangannya, jika ucapan dan perilaku Abid dapat mempengaruhi dirinya, apalagi terhadap saudaranya yang lebih dekat itu. Pastilah, menurut Al-Malikah, saudara Abid juga memiliki keteguhan iman yang tak kalah kokohnya dengan Abid. 

Ternyata saudara Abid menerima permintaan dari sang wanita paras cantik ini. Keduanya pun menikah, meskipun sebenarnya Al-Malikah tahu jika baik Abid maupun saudaranya adalah pemuda miskin. Bagi Al-Malikah yang sudah bertekad kuat, hal itu bukan penghalang. Iman di hati yang telah disiram Abid kini menjadi kekayaannya yang baru. Karena kekayan iman baginya lebih besar dari sekadar kekayaan duniawi. 

Al-Malikah lalu hidup berbahagia dengan lelaki saleh, saudara Abid. Dikabarkan, Al-Malikah menjadi salah satu perempuan bani Israil calon penghuni surga.
0



Suatu hari Fatimah bertanya kepada Rasulullah Shalalallahu 'alaihi Wa sallam tentang wanita pertama yang akan memasuki surga. Rasulullah bersabda : “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui perempuan pertama masuk surge, selain Ummul Mukminin, dia adalah Ummu Mutiah.”
Jawaban itu membuat Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya wanita yang masuk surge pertama kali. Padahal Fatimah adalah putrid Rasulullah dan telah menjalankan ibadah dengan baik.

Dari sana, timbullah rasa penasaran dan keingintahuan yang kuat didalam diri Fatimah untuk lebih mengenal sosok wanita mulia tersebut. Fatimah pun mulai mencari keberadaan beliau di pinggiran kita Madinah. Fatimah ingin menyaksikan sendiri amalan dan ibadah apa yang dilakukan Mutiah.
Setelah mendapatkan ijin dari suaminya Ali bin Abi Thalib, fFatimah pergi ke rumah Mutiah dengan mengajak Hasan, putra laki – lakinya yang masih kecil. Sesampainya di rumah tersebut, Fatimah segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Mengetahui bahwa putrid Rasulullah Shalalallahu 'alaihi Wa sallam datang berkunjung, dengan segera Mutiah membuka pintu rumahnya. Namun ketika Mutiah melihat Fatimah membawa Hasan, Mutiah kemudian kembali menutup pintu rumahnya. Fatimah heran dengan sikap Mutiah tersebut. Fatimah lalu bertanya dari balik pintu tentang sebab Mutiah melakukan hal itu.

Mutiah menjawab bahwa Rasulullah Shalalallahu 'alaihi Wa sallam mengajarkan untuk tidak membolehkan seorang istri memasukkan laki – laki ke rumahnya, ketika suaminya tidak ada di rumah dan atau tanpa ijin suaminya. Dan Hasan adalah seorang laki – laki, walaupun dia masih kecil. Selain itu Mutiah juga belum meminta jin kepada suaminya. Subhanallah sungguh mulia sifat dan akhlaknya, taat pada Allah dan menjalankan perintah Rasulnya..
Akhirnya Mutiah meminta Fatimah untuk kembali keesokan harinya, setelah Mutiah meminta ijin terlebih dahulu kepada suaminya.
Akhirnya Mutiah meminta Fatimah untuk kembali keesokan harinya, setelah Mutiah meminta ijin terlebih dahulu kepada suaminya.
Tersentaklah Fatimah mendengarkan kata – kata wanita mulia ini. Namun Fatimah tidak bisa menolak, karena argumentasi Mutiah memanglah seperti yang diajarkan ayahnya Rasulullah Shalalallahu 'alaihi Wa sallam. Setelah mengucapkan ia bersama Hasan meninggalkan kediaman Mutiah.
Pada hari berikutnya Fatimah kembali mengunjungi rumah Mutiah. Kali ini bukan hanya Hasan yang ikut, Husein pun juga ingin ikut bersama ibunya.
Ketika mereka bertiga telah sampai didepan rumah Mutiah, kejadian dihari pertama terulang kembali. Mutiah meminta maaf seraya mengatakan bahwa ijin yang diberikan oleh suaminya hanya untuk Hasan dan Mutiah belum meminta ijin suami untuk membawa Husein masuk ke rumahnya.
Semakin takjub hati Fatimah memikirkan bahwa begitu mulianya wanita ini menjunjung tinggi ajaran Rasulullah Shalalallahu 'alaihi Wa sallam. Selain itu beliau juga sangat tunduk dan tawaddu kepada suaminya. Fatimahpun akhirnya kembali pulang bersama Hasan dan husein. Namun sebelumnya ia berjanji untuk datang lagi keesokan harinya.
Pada hari yang ketiga, Fatimah bersama kedua anaknya datang kembali ke rumah Mutiah. Akhirnya dihari itu mereka bertiga diijinkan masuk ke rumah, karena kehadiran Hasan dan Husein telah mendapat izin dari suami Mutiah. Fatimah pun bersemangat ingin segera mengetahui, ibadah, amalan dan muamalah apa saja yang dilakukan perempuan pertama masuk surge ini.

Setelah memasuki rumah, Fatimah mendapati ternyata rumah Mutiah sangatlah sedrhana. Tak ada perabotan mewah disana. Namun seisi rumah tertata rapi dan bersih, sampia – sampai Hasan dan Husein pun merasa betah bermain di dalam rumah itu.
Fatimah juga tidak menemukan sesuatu istimewa yang dilakukan ke. Mutiah hanya kelihatan sibuk mondar – mandir dari dapur ke ruang tamu karena harus menyiapkan makanan siang untuk suaminya, dan Mutiahpun meminta maaf kepada Fatimah untuk itu, karenanya tidak bisa menemani Fatimah mengobrol.
Fatimah kemudian melihat Mutiah meletakan makanan di sebuah wadah dan tak lupa Mutiah juga mengikut sertakan sebuah cambuk. Fatimah yang merasa penasaran dengan hal itu, kemudian memberanikan diri bertanya, “ Untuk apa cambuk itu ?”.
Mutiah menjelaskan bahwa jiak suami Mutiah merasa masakannya tidak enak, dia ridha untuk menyerahkan cambuk itu kepada suaminya untuk dipukulkan ke punggungnya.
Mendengar hal itu, Fatimah kemudian bertanya kembali, “”Apakah itu kehendak suamimu ?”. Mutiah pun menjawab “Bukan. Semua ini ku lakukan karena keinginanku sendiri agar jangan sampai aku menjadi istri durhaka kepada suamiku. Aku hanya mencari keridhaan dari suami, karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan suami ridha kepada istrinya.”
Dari jawaban Mutiah tersebut, akhirnya Fatimah mengetahui alasan mengapa rasulullah mengatakan jika Mutiah adalah perempuan yang diperkenankan masuk surga pertama kali. Surga memang menjadi tempat yang pantas dan imbalan yang setimpal bagi istri yang dengan tulus melayani suaminya, seperti yang telah dilakukan oleh Mutiah.


2


Kedamaian hati adalah dambaan setiap jiwa. Ketika hati seseorang terasa tenang dan tentram, maka jiwanya terasa ingin terbang jauh ke angkasa melintasi awan putih, lalu rebah di atasnya dengan penuh rasa bahagia. Dadanya terasa lega dan longgar tanpa ada beban sama sekali. Alangkah bahagianya si pemilik hati yang tentram dan damai.

Namun kedamaian hati itu bukanlah menghambur-hamburkan uang, mencari ketenangan di tempat-tempat wisata yang terkenal, bar-bar, discotik, mall, dan hotel-hotel yang berbintang. Bukanlah kedamaian itu dengan bersenandung, melantunkan lagu yang bernuansa romantis atau pula mengingat para artis, bintang sepak bola dan para pelawak yang kerjanya Cuma ngelaba di depan lensa cembung.

Betapa banyak selebritis-selebritis dunia yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, yaitu membunuh dirinya sendiri. Padahal bersamaan dengan hal itu, mereka memiliki kekuasaan, ketenaran dan harta yang melimpah. Namun semua itu tidak dapat memberi kebahagiaan bagi jiwa mereka. Hati mereka meronta ingin lepas dari belenggu –belenggu kehidupan yang fana dan jiwanya terasa kering kerontang tanpa ada setetes embun keimanan yang menyiraminya. Mereka merasa hampa di tengah ramainya kerumunan para penggemarnya. Hal ini disebabkan karena tebalnya dosa yang telah menyelimuti hati. Sebagaimana firman Allah -Azza wa Jalla- ,

“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka”. (QS. Al-Muthoffifin: 14 ).

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتْ فِيْ قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ, فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ

“Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan suatu dosa, maka dosa itu menjadi titik hitam di dalam hatinya. Jika dia bertaubat dan mencabut serta berpaling (dari perbuatannya) maka mengkilaplah hatinya. Jika ia mengulanginya, maka titik hitam itupun bertambah hingga memenuhi hatinya.” [HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (3334), dan Ibnu Majah Sunan-nya (4244). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (1620)]

Allah Yang Maha Penyayang telah memberikan solusi kepada para hamba-Nya untuk membersihkan noda-noda maksiat yang menutupi hati mereka, sehingga hati mereka menjadi suci dan tenang. Kesucian dan kedamaian hati itu akan didapatkan dengan ber-dzikir (ingat) kepada Allah -Subhanahu wa Ta’la-, baik dengan lisan, hati, dan anggota badan.

Dengan cara inilah seseorang akan merasakan manisnya iman, kebahagiaan hidup dan kedamaian yang tiada taranya. Dimana kedamaian tersebut akan menjadi istana yang megah di dalam hatinya saat suka maupun duka, senang maupun susah, resah dan gelisah; hatinya senantiasa tertambatkan hanya untuk mengingat Allah -Subhanahu wa Ta’la- dan lisannya selalu basah melantunkan lafazh-lafazh yang mulia dengan penuh rasa harap dan takut hanya kepada-Nya. Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman,

“(Yaitu) orang -orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d:28 ).

Dengan senantiasa ber-dzikir (ingat) kepada Allah, maka ketentraman hati, keutamaan dan pahala yang besar telah menanti di depan mata. Inilah amalan yang banyak dilalaikan oleh kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka telah disibukkan oleh dunia, pekerjaan dan keluarganya. Padahal amalan ini sangat ringan di lidah namun memiliki keutamaan yang luar biasa.

Allah –Ta’ala- berfirman,

“Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (mengingat) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” ( QS. Al-Ahzab: 35)

Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اْللِسَانِ ، ثَقِيْلَتَانِ فِيْ المِيْزَانِ ، حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ : سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللهِ اْلعَظِيْم

“Ada dua kalimat yang ringan bagi lisan, tapi berat dalam timbangan, dan dicintai oleh Ar- Rahman (Allah), yaitu subhanallahu wa bihamdihi dan subhanallahil ‘adzhim.”[HR. Al-Bukhari (6404 dan Muslim (6786)].

Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- juga bersabda,

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَ أَزْكَاهَا عِنْدَ مََلِيْكِكُمْ وَ أَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ وَ خَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ اْلذَّهَبِ وَ اْلفِضَّةِ وَ خَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَ يَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوْا : بَلَى . قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى .

“Maukah kalian aku tunjukkan pada suatu amalan, yang paling baik dan paling suci di sisi Pemilik kalian (yakni, Allah), paling tinggi dalam mengangkat derajat kalian dan lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu dengan musuh kalian, lalu kalian memenggal leher-leher mereka dan mereka memenggal leher-leher kalian???” Para sahabat menjawab, ”Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau -Shallallahu ‘ Alaih Wa Sallam- bersabda, “(Amalan itu adalah) dzikir kepada Allah.” [HR. At-Tirmidzi (3377) dan Ibnu majah (3790) dan di-shohih-kan oleh syaikh Albaniy dalam Shohihul Jami’ (no. 2629)]

Dikatakan kepada Abu Darda’ -radhiyallahu anhu-, ”Seorang lelaki telah membebaskan seratus budak.” Beliau -radhiyallahu anhu- mengomentari, ”Seratus budak dari harta seseorang adalah sesuatu yang banyak. Yang lebih utama dari itu adalah keimanan yang senantiasa ada di malam dan siang hari, dan lisan salah seorang diantara kalian yang senantiasa basah karena berdzikir (mengingat) Allah -Azza wa Jalla-”.

Ibnu Mas’ud-radhiyallahu anhu- berkata, ”Aku bertasbih menyucikan Allah -Azza wa Jalla- beberapa kali lebih aku sukai daripada aku menginfakkan dinar sejumlah itu di jalan Allah”.

Salman Al-Farisi-radhiyallahu anhu- pernah ditanya, ”Amal apakah yang paling Afdhal?” Beliau -radhiyallahu anhu- menjawab, ”Tidakkah engkau membaca Al-Qur’an:

“Dan sesungguhnya dzikrullah (mengingat Allah) adalah lebih besar” (QS. Al-Ankabut: 45) . [LihatFiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syaikh Abdur Razzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr (hal. 33-34, dan 38) sebagaimana dalam majalah Asy-Syariah (vol.IV/no.42/1429H/2008)]

Demikianlah kemurahan dan kemudahan dari Allah bagi umat Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam-. Allah - Subhana Wa Ta’ala- memberi mereka umur yang pendek dibandingkan dengan umat-umat terdahulu, namun mereka diberi amalan yang ringan dan mudah. Amalan yang mudah dan ringan tersebut diberi balasan dengan pahala yang sangat besar. Mereka adalah umat yang terakhir, namun yang pertama masuk ke dalam surga.

Walaupun keistimewaan umat Islam besarnya seperti ini, tapi banyak orang yang tak menjadikannya sebagai motivasi dalam menambah kesyukuran. Jangankan ber-dzikir, sholat saja ditinggalkan demi dunia yang fana!! Kehidupan dunia terlalu memikat kebanyakan dari mereka. Mata mereka tersilaukan dengan keindahan dan gemerlapnya kehidupan dunia, sehingga membuat mereka lupa dari mengingat Allah yang telah menciptakan, memelihara dan melimpahkan nikmat-Nya yang tak terhitung kepada mereka. Padahal Allah -Azza wa Jalla- telah mengingatkan dalam firman-Nya,

“ Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. ” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Ayat di atas dengan jelas mengabarkan bahwa orang yang lalai dari mengingat Allah, ia akan merugi di dunia terlebih lagi di akhirat. Ia akan sangat menyesali waktu yang ia sia-siakan dari berdzikir kepada Allah -Azza wa Jalla- sebagaimana Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- juga telah mengingatkan,

مَا مِنْ سَاعَةٍ تَمُرُّ بِابْنِ آدَمَ لاَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهَا إِلاَّ تَحَسَّرَ عَلَيْهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

“Tidak ada suatu waktu pun yang terluputkan dari anak adam untuk berdzikir kepada Allah kecuali ia akan menyesali waktu tersebut pada hari kiamat” . [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (508). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam ShahihulJami’ (5720)].

Pembaca yang mulia, ingatlah bahwa kehidupan dunia akan berakhir dan hari pembalasan kan menjelang. Siapkanlah amal kebaikanmu sebanyak-sebanyaknya selama engkau di dunia ini.Sebab, amal kebaikan itu akan menjadi bekalmu yang akan membantumu dalam meniti perjalanan yang panjang dan berat di akhirat. Janganlah engkau terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan janji-janji kosong setan hingga engkau pun termasuk dalam deretan orang-orang yang merugi lagi menyesal. Oleh karenanya, Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkan kita untuk memperbanyak amalan shalih selama di dunia. Allah -Azza wa Jalla- telah mengingatkannya dalam firman-Nya,

“ Supaya jangan ada orang yang mengatakan: “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ). ” (QS. Az-Zumar: 56).

Ketahuilah, orang yang berpaling dari berdzikir (mengingat) Allah -Subhanahu wa Ta’la-, ia bagaikan mayat yang berjalan di muka bumi; setan akan menjadi pendampingnya serta akan mematikan hatinya. Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

”Perumpamaan orang-orang yang berdzikir (mengingat) Rabbnya, dan orang-orang yang tidak berdzikir (mengingat) Rabbnya adalah seperti (orang) yang hidup dan mati.” [HR. Al-Bukhari dalamKitab Ad-Da'awaat (6407)].

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

“ Barangsiapa yang berpaling dari berdzikir kepada Allah yang Maha Pemurah, kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. ” (QS. Az-Zukhruf: 36).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah- berkata, ”perandaian dzikir bagi hati adalah seperti air bagi ikan. Apa jadinya keadaan ikan tanpa air ?? ” [Lihat Al-Wabilus Shayyib hal. 84. cet. Daar Ibnul Jauzy].

Oleh karenanya, seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan perkara ini. Sebab, waktu berjalan terus dan catatan amalanpun takkan berhenti. Barangsiapa yang banyak catatan kebaikannya, maka ia adalah orang yang bahagia. Barangsiapa yang banyak catatan amalan kejelekannya, maka ia orang yang merugi lagi celaka. Jika seseorang senantiasa berdzikir, maka Allah tidak akan meninggalkan dan membiarkannya. Sebab Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

“ Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. ” (QS. Qoof: 18).

Al-Hafizh Ibnu Katsir-rahimahullah- menukilkan perkataan Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- tentang ayat diatas, “Malaikat itu mencatat setiap apa yang di ucapkannya berupa kebaikan ataupun kejelekan.”[Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (7/308)]

Marilah kita membasahi lisan-lisan kita dengan dzikrullah agar ketentraman, kedamaian dan keberuntungan senantiasa menyertai kita baik di dunia, maupun di akhirat kelak. Sebab Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

“ Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung .” (QS. Al-Anfal: 45)

Ingatlah Allah, niscaya Allah akan mengingatmu. Ingatlah Allah di waktu senangmu, niscaya Allah akan mengingatmu dikala susahmu. Janganlah engkau ragu kepada janji Allah. Sebab, Allah sudah memastikannya dalam firman-Nya,

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152).

Pembaca yang budiman, tentunya untuk mengamalkan dzikir-dzikir dalam kehidupan sehari-hari harus yang warid (datang) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits yang shahih), karena betapa banyak orang-orang yang berdzikir sampai terisak-isak, meraung-raung sambil berlinang air matanya, akan tetapi amalannya sia-sia belaka. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak pernah kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim]



Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 129 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
0


SEJAK memutuskan untuk berjilbab, sosok Sandrina Malakiano tak lagi membawakan berita, Ia menghilang. Metro TV tempat ia bekerja dikecam karena melarang Sandrina Malakiano mengenakan jilbab pada saat siaran, meskipun Sandrina sudah memperjuangkannya selama berbulan-bulan dengan mengajak jajaran pimpinan level atas Metro TV berdi
skusi panjang. Larangan inilah, alasan Sandrina keluar dari Metro TV.


(Curhat dari seorang Sandrina Malakiano dari Facebook-nya Sandrina Malakiano Fatah)

Setiap kali sebuah musibah datang, maka sangat boleh jadi di belakangnya sesungguhnya menguntit berkah yang belum kelihatan. Saya sendiri yakin bahwa ” sebagaimana Islam mengajarkan ” di balik kebaikan boleh jadi tersembunyi keburukan dan di balik keburukan boleh jadi tersembunyi kebaikan.

Saya sendiri membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakai hijab sejak pulang berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itu saya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat saya bekerja, Metro TV.

Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan untuk siaran karena berjilbab. Pimpinan Metro TV sebetulnya sudah mengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelah berbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yang mengelola langsung beragam tayangan di Metro TV menghambat saya di tingkat yang lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan saya berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orang dalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa pintu memang sudah ditutup.

Sementara itu, sebagai penyiar utama saya mendapatkan gaji yang tinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta, akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama proses negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya tak memperoleh penghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusi Metro TV.

Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat ada sinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya saya mengundurkan diri. Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yang mesti saya buat. Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter dan presenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya sudah menggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di TVRI Denpasar, ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV internasional, TVRI Pusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya kehilangan pekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya.

Tetapi, dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yang terbaik dan bahwa dunia tak selebar daun Metro TV, saya bergeming dengan keputusan itu. Saya yakin di balik musibah itu, saya akan mendapat berkah dari-Nya.

Hikmah Berjilbab

Benar saja. Sekitar satu tahun setelah saya mundur dari Metro TV, ibu saya terkena radang pankreas akut dan mesti dirawat intensif di rumah sakit. Saya tak bisa membayangkan, jika saja saya masih aktif di Metro TV, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi Ibu selama 47 hari di rumah sakit hingga Allah memanggilnya pulang pada 28 Mei 2007 itu. Bagaimana mungkin saya bisa menemaninya selama 28 hari di ruang rawat inap biasa, menungguinya di luar ruang operasi besar serta dua hari di ruang ICU, dan kemudian 17 hari di ruang ICCU?

Hikmah lain yang saya sungguh syukuri adalah karena berjilbab saya mendapat kesempatan untuk mempelajari Islam secara lebih baik. Kesempatan ini datang antara lain melalui beragam acara bercorak keagamaan yang saya asuh di beberapa stasiun TV. Metro TV sendiri memberi saya kesempatan sebagai tenaga kontrak untuk menjadi host dalam acara pamer cakap (talkshow) selama bulan Ramadhan.

Karena itulah, saya beroleh kesempatan untuk menjadi teman dialog para profesor di acara Ensiklopedi Al Quran selama Ramadhan tahun lalu, misalnya. Saya pun mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pemahaman baru tentang agama dan keberagamaan. Islam tampil makin atraktif, dalam bentuknya yang tak bisa saya bayangkan sebelumnya. Saya bertemu Islam yang hanif, membebaskan, toleran, memanusiakan manusia, mengagungkan ibu dan kaum perempuan, penuh penghargaan terhadap kemajemukan, dan melindungi minoritas.

Saya sama sekali tak merasa bahwa saya sudah berislam secara baik dan mendalam. Tidak sama sekali. Berjilbab pun, perlu saya tegaskan, bukanlah sebuah proklamasi tentang kesempurnaan beragama atau tentang kesucian. Berjibab adalah upaya yang amat personal untuk memilih kenyamanan hidup.

Berjilbab adalah sebuah perangkat untuk memperbaiki diri tanpa perlu mempublikasikan segenap kebaikan itu pada orang lain. Berjilbab pada akhirnya adalah sebuah pilihan personal. Saya menghormati pilihan personal orang lain untuk tidak berjilbab atau bahkan untuk berpakaian seminim yang ia mau atas nama kenyamanan personal mereka. Tapi, karena sebab itu, wajar saja jika saya menuntut penghormatan serupa dari siapapun atas pilihan saya menggunakan jilbab.

Hikmah lainnya adalah saya menjadi tahu bahwa fundamentalisme bisa tumbuh di mana saja. Ia bisa tumbuh kuat di kalangan yang disebut puritan. Ia juga ternyata bisa berkembang di kalangan yang mengaku dirinya liberal dalam berislam.

Tak lama setelah berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan Metro TV, saya menemani suami untuk bertemu dengan Profesor William Liddle ” seseorang yang senantiasa kami perlakukan penuh hormat sebagai sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua ” di sebuah lembaga nirlaba. Di sana kami juga bertemu dengan sejumlah teman, yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam.

Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan saya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan Metro TV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satu komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah, Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar.

Saya sungguh terkejut karena sikap mereka bertentangan secara diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang di tengah kemajemukan.

Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya? Bagaimana mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk memperoleh hak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung meredup dan otaknya mengkeret mengecil?

Bersama suami, saya kemudian menyimpulkan bahwa fundamentalisme “mungkin dalam bentuknya yang lebih berbahaya” ternyata bisa bersemayam di kepala orang-orang yang mengaku liberal.

***

Catatan: Pada Mei 2006, keputusan yang sulit pun akhirnya ia ambil. Sandrina resmi keluar dari stasiun televisi itu.

*Sumber Tulisan: Facebook Mba Sandrina Malakiano
1

Newsletter

Get All The Latest Updates Delivered Straight Into Your Inbox For Free!

Followers

Khansa Muslim on FB